Jumat, 12 Oktober 2012

Contoh Kecelakaan Akibat Simulasi Gagal

Saya akan melanjutkan tugas k 2 dari simulasi

Pada posting pertama, saya menjelaskan apa itu simulasi

Namun ada beberapa model simulasi yang justru membahayakan manusia karena kegagalan memperkirakan kesalahan yang mungkin timbul sehingga terjadi kesalahan pengambilan keputusan yang fatal.
Berdasarkan kejadian yang telah terjadi dapat disimpulkan kesalahan terjadi karena:
  1. Kesalahan pada algortima dan logika dari Model Simulasi
  2. Keadaan unik yang tidak dapat diprediksi oleh Model Simulasi
  3. Human Error, dalam artian pengacuhan terhadap prediksi yang telah dihasilkan.

Sebagai contoh kegagal simulasi

Setelah mengulas kemungkinan adanya disorientasi spasial pada kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 (SSJ 100), kali ini Dr dr Wawan Mulyawan, SpBS, FS, doktor dalam bidang biomedik penerbangan mengatakan, peluang miskomunikasi antara pilot dengan petugas ATC bandara bisa saja terjadi.

“Kemungkinan ini saya ulas untuk memperluas cakrawala pemahaman kita saja, dan sama sekali tidak terkait dengan penyelidikan yang sedang dilakukan KNKT. Jadi, tidak ada prejudice (prasangka),” jelasnya.

Kisah komunikasi antara pilot Sukhoi Super jet 100 (SSJ100), Alexander Yablontsev, yang sudah mengantungi lebih dari 14.000 jam terbang dengan petugas air traffic controller (ATC) di Tower Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, hingga saat ini masih menarik perhatian. 

Deputy Senior General Manager PT Angkasa Pura Cabang Bandara Soekarno-Hatta, Mulya Abdi, Minggu (13/5/) mengamini, bahwa ATC Bandara memberikan izin pesawat turun dari 10 ribu kaki ke-6 ribu karena ada permintaan dari pilot. 

“Itu adalah flight plan yang diminta Sukhoi ke radial 200 dan 20 nautical mile dari Lanud Halim. Itu adalah wilayah Bogor area di atas Lanud Atang Sendjaja, itu sebuah wilayah safe training. Area sangat aman”, ungkapnya. Dan pantauan radar juga di zona aman, dan jaraknya 7 nautical mile dari Gunung Salak.

Menjadi lebih menarik lagi, saat ada laporan di harian Izvestia dan dilansir kantor berita Ria Novosti, Jumat (11/4). Hasil simulasi berbagai kemungkinan kejadian darurat pada SSJ 100 yang dilakukan di alat simulator pesawat yang canggih di Rusia, setelah kecelakaan di Gunung Salak, tidak mendapatkan “satu cara pun” yang bisa menyebabkan pesawat SSJ 100 dengan flight plannya itu jatuh. 

“Apakah terjadi miskomunikasi antara pilot Sukhoi dengan ATCC Cengkareng dalam kasus ini ? Hingga saat ini kita belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi,” jelas Wawan yang juga menjadi dosen di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Kedokteran Penerbangan FKUI.

Memahami cara kerja otak
Namun ada baiknya kita memahami secara ilmiah bagaimana otak bereaksi terhadap komunikasi verbal yang terjadi dengan orang lain. Barangkali pemahaman ini akan bisa memberikan wacana yang lebih terang benderang apakah ada peluang human error dalam suatu kecelakaan pesawat.

Pengalaman, jam terbang, dan segala bentuk memori yang dilekatkan dalam otak kita bisa saja “dikalahkan” oleh suatu hal yang sederhana: kesulitan memahami logat bicara sesuai asal bangsa, misalnya.

“Lalu lintas komunikasi verbal yang ditangkap dan direspon oleh otak kita,” imbuh perwira TNI-AU berpangkat Letnan Kolonel ini.

Saat seseorang mengucapkan suara, kata-kata, kalimat sederhana, bahkan kalimat kompleks, maka semua suara ini setelah ditangkap oleh telinga. Kemudian akan “menggebuk” gendang telinga. Itulah makanya, kata Wawan, dalam bahasa Inggris disebut ear drum

Suara ini pun segera menembus ke telinga tengah diperbesar dan menghantar melalui tiga tulangmaleusincus, dan stapes

Di sini suara akan diosikulasi. “Mungkin bahasa awamnya osikulasi itu ‘menggelombang' ya?” jelasnya. Kemudian getaran suara tekanan rendah tersebut diubah menjadi gelombang suara bertekanan tinggi di organ berbentuk membran kecil yang disebut jendela oval (oval window).

Mengapa harus diubah dulu menjadi suara bertekanan tinggi? Wawan menjelaskan, karena setelah melewati oval window, suara akan melewati telinga dalam yang berisi cairan, yang secara fisika adalah penghantar yang buruk jika tidak ditinggikan tekanannya. 

“Suara kemudian berubah dari ‘gelombang suara' menjadi impuls saraf di koklea. Organ Corti akan merubah gelombang cairan (fluid waves) menjadi sinyal listrik di dalam neuron. Ini melalui sel-sel rambutnya yang dapat merubahnya menjadi sinyal saraf,” jelasnya.

Di sinilah tahap pertama dimana gelombang yang bukan merupakan sinyal listrik sebelumnya menjadi sensasi saraf yang bisa terhantar ke otak. Melalui serabut sensasi (afferent fibers) terjadi jembatan saraf (synapse) yang di-”doping” oleh zat kimia glutamat, maka dari sel rambut tadi sensasi suara atau kata-kata yang sudah berupa impuls saraf tadi, sampai di kaki sel saraf pendengaran yang dinamakandendrit.

Sekarang suara tadi sudah dire-code dan terhantar di saraf, nervus vestibulokoklearis ke batang otak. Selanjutnya ke stasiun antara yang paling besar. Ini sebelum sampai di pusat pemrosesan suara (pendengaran) di otak samping, lobus temporalis, yang juga dibantu otak depan (lobus frontalis). 

Sistem pemrosesan pendengaran di daerah temporofrontal inilah, kata Wawan, yang bisa dengan indahnya memahami suara, musik, juga kebisingan.

Area persepsi suara (bicara) di otak (Wernicke's area)
Area ini adalah daerah yang lebih spesifik dari pusat pemrosesan suara (pendengaran) di otak samping (lobus temporalis), karena hanya berfungsi di daerah otak yang dominan. Otak dominan adalah otak yang mengatur fungsi luhur. 

Orang tidak kidal, otak dominannya selalu di sebelah kiri, sedangkan orang kidal otak dominannya bisa saja di sebelah kanan. Lebih kurang 97 persen orang otak dominannya adalah di sebelah kiri. “Jadi area Wernicke ada di otak samping sebelah kiri pada mayoritas manusia,” jelas Wawan.

Area Wernicke inilah yang akan memahami kata-kata seorang pilot atau petugas ATC dalam komunikasi antara kokpit dan tower bandara. Jika area Wernicke ini tidak bekerja dengan baik, alhasil pemahaman akan suara, kata-kata, apalagi kalimat kompleks akan buruk dan terjadi miskomunikasi. 

Komputasi di area Wernicke ini sungguh sangat kompleks, dan hingga kini masih banyak hal-hal yang belum dipahami oleh ilmuwan. Namun setidaknya telah diketahui, bahwa area Wernicke inilah yang paling dominan dalam komputasi itu. Penelitian juga menunjukkan, bahwa terdapat perbedaan gambaran radiologis MRI (Magnetic Resonance Imaging) antara orang yang menerima suara, kata-kata atau kalimat dalam bahasa ibunya (native language). Misalnya, orang Inggris mendengar orang Inggris berbicara dalam bahasanya dan orang yang mendengar kata-kata bukan dari bahasanya sendiri. Contohnya, orang Indonesia mendengar orang Inggris berbicara dalam bahasanya (Inggris). 

Area bicara Broca (Broca's area)Setelah suara diproses di otak samping (lobus temporalis) dan pemahamannya di area yang dominan (7 persen di otak sebelah kiri) yaitu, area Wernicke, maka info ini dihantarkan melalui fascikulus uncinatus ke area Broca, yang letaknya masih di otak yang dominan (lobus frontal atau otak depan bagian bawah belakang), tidak terlalu jauh agak ke depan dari area Wernicke

Dengan telah diketahuinya suara, kata-kata atau kalimat ini, fungsi luhur otak melalui area Broca membuat keputusan kalimat apa yang akan diucapkan sebagai respons dari kalimat yang masuk tadi. 

Tentu bisa saja responsnya adalah diam (tidak berkata-kata). Tapi jika responsnya adalah berbicara, maka area Broca akan memroses suara,kata-kata atau kalimat apa saja yang akan diucapkan

Wawan mengatakan, penelitian dengan MRI juga menunjukkan adanya perbedaan gambaran antara area Broca yang aktif saat bicara dan tidak aktif saat diam. Studi ini dimaksudkan untuk memperlihatkan perbedaan gambaran otak pada saat berbicara dan pada saat diam. Namun dapat juga digunakan untuk memperlihatkan perbedaan tiap individu dalam kemampuan motoris bicaranya.

Teori terbaru tentang neuroplastisitas memperlihatkan, bahwa area Broca di sisi otak yang dominan tidak sepenuhnya berperan mengatur motoris bicara. Namun tanpa peran area Broca, lanjut Wawan, penelitian terbaru juga memperlihatkan, hilangnya kemampuan berbicara yang komprehensif, kecuali memproduksi bicara sederhana memang tetap ada. 

Orang yang area Brocanya rusak tidak bisa membuat kalimat yang kompleks atau berbicara lebih dari dua subjek sekaligus, atau dapat melaporkan sesuatu dengan komprehensif. Intinya, kata dia, tanpa area Broca berfungsi, bicara tidak bisa komprehensif. “Ini yang tadi dibuktikan dengan rekaman gambar MRI (functional MRI),” sambungnya.

Tidak hanya pembicaraan dari orang lain yang direspons dengan perintah motoris bicara dari area Broca, tapi juga gerakan atau sensasi penglihatan. Karena itu area Broca juga berperan dalam mengenali gerakan-gerakan tubuh (gesture), yang kemudian dapat menjadi respon motoris bicara dari otak kita.

Semua rangkuman di area Broca ini, lanjut Wawan, kemudian menjadi perintah kompleks kepada pita suara, mulut, bibir lidah, otot, dan sekitarnya hingga saluran nafas dan saluran pencernaan sebagai suara, kata-kata, kalimat biasa, hingga kalimat yang kompleks.

Apakah pilot dan petugas ATC berpengalaman masih bisa miskomunikasi?
Komunikasi verbal menggunakan bahasa. Dalam komunikasi antara pilot di kokpit dengan petugas ATS di tower bandara, kata Wawan, umumnya menggunakan bahasa Inggris yang sudah baku dalam komunikasi penerbangan. 

Jadi, seharusnya kecil sekali kemungkinan terjadi salah ucap (kelanjutan peran dari area Broca) mau pun salah dengar (hasil akhir pengenalan dan pemahaman dari area Wernicke). Apalagi pada pilot dan petugas ATC yang berpengalaman.

Namun, kata Wawan, ada satu aspek dari peran Wernicke dan Broca yang bisa keliru dalam hal ini, yaitu masalah dialek, pengucapan atau logat bahasa. 

Menurutnya, bisa saja terjadi logat Rusia yang masuk dalam bahasa Inggris seorang pilot Rusia akan didengar berbeda oleh pendengaran seorang petugas ATC bandara di Indonesia, yang telinganya hanya terbiasa mendengar logat Inggris Indonesia (yang paling sering), logat Inggris (British dan American English), atau logat Inggris lainnya (Malaysia, ASEAN lainnya, India, Arab, dan lain-lain). Namun jarang mendengar logat Inggris Rusia (pemahaman area Wernicke). 

Jika kalimat request dari pilot untuk “menurunkan ketinggian dari 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki” disampaikan logat Inggris Rusia, masih mungkin didengar lain oleh petugas ATC di tower bandara. Atau jawaban boleh tidaknya turun ke ketinggian 6 ribu kaki dari petugas ATC tidak didengar dengan baik oleh pilot, dan pilot mengambil keputusan lain yang berbeda dengan maksud jawaban ATC tadi.

“Semua yang saya uraikan tadi cuma kemungkinan saja. Mudah-mudahan bukan itu yang terjadi,” jelas Wawan.

Dengan demikian, lanjutnya, masih menjadi misteri apakah ada miskomunikasi, atau pilot melakukanvisual flight yang menyebabkan spatial disorientation, atau ada apa? Semoga kotak hitam (blackbox) yang sudah ditemukan akan memberikan jawabannya. Kalau tidak? Biarlah  kecelakaan-kecelakaan di Gunung salak menjadi misteri sejarah, seperti yang terjadi dengan misteri Segitiga Bermuda, misalnya.



Sumber
http://www.beritasatu.com/nasional/48911-kemungkinan-miskomunikasi-sebabkan-kecelakaan-sukhoi.html

1 komentar: